PENGUKURAN & AUDIT ASPEK SDM
Pengukuran
SDM, mengapa perlu?
Karyawan bagian/unit SDM pada umumnya seringkali bekerja dalam pola
terpisah dan tersendiri. Orang yang mengelola perekrutan fokus pada menyediakan
karyawan baru yang berkualitas. Grup maupun tim kompensasi berupaya memberikan
keadilan dalam salary dan benefit untuk karyawan. Tim pelatihan &
pengembangan berusaha melatih ketrampilan dan pengetahuan baru untuk semua
karyawan. Sasaran yang dicapai adalah keberhasilan individu masing-masing.
Tentu saja hal ini tidak efisien, karena tidak menyentuh maupun mencapai
kinerja organisasi yang optimal. Sebab, setiap unit sebenarnya merupakan bagian
dari unit lebih besar sehingga sasaran yang dicapai harusnya mendukung sasaran
yang lebih besar yakni keseluruhan tim.
Perubahan yang paling signifikan dalam manajemen SDM selama 40 tahun di
dunia bisnis adalah kolaborasi (bahkan dengan kompetitor sekalipun). Berupaya
berjalan sendirian dalam suasana pasar industri saat ini adalah tidak mungkin.
Hal yang sama juga terjadi pada SDM. Dengan adanya pemahaman yang lebih luas
terhadap tujuan SDM di perusahaan, setiap fungsi di dalam SDM dapat
mengembangkan kontribusinya secara maksimal dalam sasaran unit/departemen
maupun tujuan umum perusahaan.
Karena itu, perlu adanya perubahan visi dalam bagian SDM itu sendiri.
Ini dilakukan agar para staff SDM lebih fokus dalam bekerja, dengan
memperhatikan tujuan yang lebih besar. Visi adalah fondasi esensial dalam
membentuk arahan baru dari setiap fungsi organisasi, termasuk fungsi SDM.
Dengan demikian visi SDM hendaknya memiliki karakter sebagai berikut:
· Bagian SDM hadir di dalam organisasi karena ia
menambahkan nilai yang nyata untuk perusahaan. SDM harus mampu memberikan jasa
yang diperlukan perusahaan dengan biaya kompetitif.
· Tanggung jawab bagian SDM adalah mengembangkan
produktivitas dan efektivitas organisasi dari segi manusia, bakat (talent) dan
human capital.
· Bagian SDM seharusnya melibatkan isu sumber daya
manusia dalam setiap aktifitas manajemen organisasi
· Bagian SDM adalah fungsi yang diisi oleh para
profesional yang berdedikasi dalam pengembangan manusia dengan tujuan
meningkatkan keterlibatan individu-individu di dalam organisasi baik dari segi
komitmen maupun kompetensi dan juga memberikan manfaat untuk organisasi secara
optimal.
Salah satu hal terpenting untuk mengetahui peran dan fungsi SDM adalah
adanya pengukuran kinerja SDM itu sendiri. Tidak diragukan bahwa pengukuran
kinerja dibutuhkan untuk semua orang yang memilih untuk memiliki peran dalam
organisasinya. Para pakar manajemen setuju bahwa pengukuran kuantitatif
diperlukan dalam SDM. Data kuantitatif adalah bagian dari setiap kegiatan
operasional organisasi.
Sistem
pengukuran SDM ini tentunya memberikan kerangka referensi yang membantu
manajemen untuk memenuhi sejumlah tanggung jawab terutama yang terkait SDM
antara lain :
· Mengkomunikasikan harapan tentang
kinerja: Diskusi tentang sasaran kerja
dalam definisi kuantitatif mengurangi ambiguitas. Saat sasaran dibuat
berdasarkan aspek biaya, waktu, kualitas, kuantitas, dan kepuasan customer,
orang-orang SDM memahami apa yang diharapkan dari dirinya.
· Melihat, merasakan, dan memahami
suatu dampak atau outcomes. Sistem pengukuran SDM meliputi, memotivasi, dan menguasai kreativitas.
Umumnya, para staf berespon terhadap sasaran yang telah dibuat dan mencari
jalan yang kreatif untuk mencapainya. Data dari sistem membuat para staf jelas
tentang outcome apa dan seberapa besar yang telah diperoleh.
· Membandingkan dengan standar dan/atau benchmark yang ada: data dapat mengindikasikan posisi relatif perusahaan atau
departemen bila dibandingkan dengan sasaran internal organisasi dan kompetitor
eksternal.
· Mengidentifikasi gap atau selisih
kinerja: bisa diketahui pada bagian mana
perlu membuat pengembangan dan seberapa jauh tertinggal atau lebih maju dari
goal yang kita miliki. Juga dapat belajar seberapa cepat pergerakan bila
dibandingkan dengan pertumbuhan industri sejenis.
· Mendukung keputusan alokasi
sumber daya. Data dapat menunjukkan tugas
yang memiliki prioritas lebih tinggi atau lebih rendah untuk para staf.
Alokasi sumber daya dapat diberikan pada isu yang paling penting dan pada area
yang memberikan pengembalian investasi (return of investment) terbaik.
· Memberikan pengakuan dan
penghargaan pada kinerja: karyawan
dengan kinerja di atas rata-rata seringkali demotivasi dengan sasaran yang
bersifat kualitatif. Bukti kuantitatif pada kinerja memberikan perusahaan
kesempatan untuk menunjukkan apresiasi terhadap pekerjaan yang luar biasa.
Key
Performance Indicator dan Metric, sebuah pengenalan
Hampir kebanyakan orang
beranggapan ada kesamaan antara Key Performance Indicator (KPI) dan Metric.
Anggapan itu tidak sepenuhnya salah, karena sebenarnya KPI itu adalah metric,
tapi tidak semua metric itu adalah KPI. Nah, terus bagaimana menjelaskannya?
Jawaban sebenarnya adalah bagaimana membedakan antara metric yang merupakan KPI
dan metric yang hanya merupakan ukuran saja / indicator only.
Dari namanya, Key Performance Indicator sudah
menyebutkan, performance indicator atau penunjuk kinerja. Contohnya
performance suatu proses diukur atau ditunjuk melalui suatu KPI.
KPI bukan hanya mengukur suatu panjang, suatu waktu proses, suatu umur
alat tetapi lebih tepat ukuran dari suatu performance atau kinerja. Lebih
lanjut, KPI merupakan ukuran kunci (key) terhadap bisnis atau kesuksesan,
bukan hanya ukuran seadanya / sambil lalu dari suatu bisnis proses.
Dengan demikian, KPI sangat erat berhubungan dengan obyektif dari proses yang
akan diukur.
Sebuah
organisasi layaknya memiliki banyak metric, namun hanya sedikit KPI.
Contoh metric adalah : profitabilitas, pangsa pasar, penjualan, jumlah karyawan
dst. Namun KPI merupakan suatu performance metric yang secara nyata
dan jelas terkait dengan sasaran strategis organisasi yang mampu mendorong
organisasi menerjemahkan strateginya ke dalam terminologi yang bisa
dikuantifikasi. Rancangan KPI yang baik memberikan informasi yang dalam, jelas
dan tajam mengenai kecenderungan suatu kinerja, sementara itu juga didukung
oleh ketersediaan metric yang rinci. KPI yang tepat juga membantu apakah
organisasi sudah melakukan hal yang benar dan mengetahui apa yang perlu
perbaikan (improvement) atau penyesuaian.
Dengan demikian, tampaklah apa perbedaan
dari metric dan KPI :
·
KPI adalah metric, tapi tidak semua metric
merupakan KPI.
·
Organisasi memiliki banyak metric, tapi hanya
sedikit KPI.
·
Metric dapat berupa suatu ukuran tentang
suatu (besaran, jumlah, waktu), tetapi KPI adalah ukuran yang mempunya makna
berarti dan kunci (matter most & key)
·
Metric dapat diubah atau tidak dapat diubah
melalui suatu aksi. Tetapi KPI sebaiknya harus dapat diubah melalui suatu aksi
(actionable). Jangan mengukur sesuatu sebagai KPI jika hal itu tak dapat diubah
melalui serangkaian aksi spesifik.
Lalu kapan dan bilamana sebuah metric
bisa menjadi KPI? maka KPI adalah metric yang :
·
Outcome-oriented — bukan hanya sekedar
output (keluaran dari proses), karena outcome memiliki pengaruh (impact).
·
Target-based — memiliki paling tidak
satu nilai sasaran yang sensitif terhadap waktu.
·
Rated / Graded — memiliki nilai ambang
(threshold) yang membedakan antara nilai aktual dan target.
Dengan tiga kriteria diatas, dapat digunakan
untuk mengevaluasi apakah sebuah metric memenuhi status sebagai KPI yang
membantu untuk tetap fokus pada ukuran tersebut sebagai salah satu kunci menuju
kesuksesan organisasi. Deskripsi mengenai kriteria tersebut akan dijelaskan
pada tulisan selanjutnya.
Pengaruh
Perputaran Tenaga Kerja Terhadap Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja dapat
mempengaruhi tingkat perputaran karyawan dan absensi. Perusahaan dapat
mengharapkan bahwa bila kepuasan kerja meningkat maka perputaran tenaga kerja
dan absensi menurun atau sebaliknya. Hal ini disebabkan karena apabila para
karyawan kurang mengdapatkan kepuasan kerja, maka mereka akan cenderung lebih
sering absent dan dapat mengakibatkan seringnya keluar masuknya tenga kerja,
sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi dan menghambat prose produksi
karyawan.
Menurut M. As’ad, (Hal 115: 1998)
factor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan karyawan terhadap pekerjaan,
yaitu :
- Finansial,
merupakan salah satu factor mengapa manusia bekerja adalah karena masalah
financial. Masalah gaji, bonus, insentif, dan tunjangan dapat membuat
karyawan merasa puas.
- Fisik, pada
pekerjaan yang berupa pembagian kerja berdasarkan usia, jenis pekerjaan,
keselamatan kerja, sistem istirahat dan keadaan suasana serta peralatan
kerja yang digunaka.
- Sosial, hubungan
antara atasan dengan bawahan baik dan hubungan antar sesama karyawan yang
ahrmonis akan menimbulkan kepuasan kerja dan meningkatkan produktivitas
kerja yang maksimal.
- Psikologis, kepuasan
kerja dapat ditingkatkan melalui perhatian pimpinan terhadap keinginan
karyawan, cita-cita, pandangan hidup, sikap karyawan terhadap tugas, dan
bakat serta kecakapan yang dimiliki oleh karyawan
Keluhan Karyawan dan Proses Penyelesaian Masalah Hubungan Kerja
Dalam konteks yang
konstruktif, mengeluhkan pekerjaan bisa membawa perbaikan. Misalnya, jika
mengeluhkan tentang kurangnyamannya lingkungan kerja kita. Karena keluhan itu,
kita terdorong untuk mengajak teman-teman merasakan hal yang sama di perusahaan
untuk menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan bagi semua. Dalam kasus
ini, sebuah keluhan menjadi daya dorong untuk melakukan perbaikan.
Sebuah keluhan bisa memberi dampak positif
jika memenuhi sekurang-kurangnya 3 kriteria.
- Pertama,
keluhan itu disampaikan secara konstruktif. Mengapa keluhan perlu
disampaikan secara konstruktif? Karena perusahaan enggan mendengar keluhan
yang disampaikan secara destruktif. Misalnya, ada karyawan yang
menyampaikan keluhan secara emosional. Alih-alih perusahaan menerima
keluhan itu, malah menilai karyawan yang bersangkutan tidak bersikap
dewasa. Selain itu, keluhan yang disampaikan secara destruktif bisa
mengundang antipati kolega yang lain. Maka terjadilah kubu-kubu diantara
sesama pekerja.
- Kedua,
keluhan itu memiliki ruang untuk perbaikan demi kepentingan bersama.
Keluhan yang menyangkut kepentingan banyak orang berpeluang untuk
mendapatkan perhatian. Sebab, selain akan mendapatkan dukungan dari rekan
sekerja, juga bisa membangun kesadaran perusahaan bahwa hal yang
dikeluhkan tersebut dapat mengganggu kinerja perusahaan dalam skala besar.
Pada akhirnya, kepentingan perusahaan juga yang terancam. Hal ini juga
berarti bahwa perbaikan yang diharapkan itu harus berada dalam jangkauan
kemampuan perusahaan. Sebab, bagaimanapun juga kita tidak dapat menuntut
apapun diluar kemampuan perusahaan. Sebagai contohnya, kita menuntut
kenaikan gaji sebesar sepuluh persen. Keluhan itu disampaikan dengan cara
simpatik (memenuhi syarat pertama), dan menyangkut kepentingan bersama.
Tetapi, nilai penjualan perusahaan tengah menurun drastis karena krisis
ekonomi, misalnya. Maka hal ini menjadi tidak rasional untuk dituntut.
Agak aneh juga kan kalau peghasilan perusahaan menurun tapi kita menuntut
kenaikan signifikan atas pendapatan kita. Bukankah prestasi perusahaan itu
menggambarkan kinerja yang kita kontribusikan?
- Ketiga,
keluhan itu ditindaklanjuti dengan proporsional. Kita tahu bahwa tindak
lanjut adalah urat nadi terjadinya perbaikan yang diharapkan. Namun, dalam
banyak situasi; tindakan proporsional itu harus dilakukan dua arah. Tidak
bisa hanya perusahaan saja. Dan juga tidak mungkin jika hanya dilakukan
oleh karyawan saja. Misalnya, untuk membangun lingkungan kerja yang
menyenangkan tadi, semua karyawan harus terlibat. Jika ada satu saja
karyawan pengacau, bisa jadi segalanya menjadi terganggu. Sebaliknya, jika
semua kolega mendukung dan berkomitmen tetapi perusahaan tidak mendukung
dalam bentuk policy atau endorsement lainnya, maka hal itu menjadi sulit
untuk diwujudkan.
Dengan cara itu, keluhan
kita bisa membawa perbaikan keadaaan. Namun demikian, kadang-kadang kita tidak
tinggal pada situasi yang seideal itu. Bahkan, dalam banyak situasi
penyelesaiannya memakan waktu dan energi yang sangat banyak. Oleh karena itu,
dibutuhkan komitmen jangka panjang dari kedua belah pihak. Jika tidak,
masalahnya bisa menjadi lebih rumit hingga berpotensi menimbulkan sengketa
antara kerusahaan dan karyawan.
Bagaimana kalau sengketa itu tidak bisa
dihindarkan? Tentu ada banyak pilihan. Tetapi, menyelesaikan dipengadilan
biasanya bukanlah hal yang menyenangkan bagi kedua belah pihak. Sebab, yang
paling diuntungkan bukan mereka, melainkan para pesaing. Dan, para pelanggan
bisa ikut terseret menjadi korban. Oleh karena itu, sebisa mungkin upaya
semacam itu dihindari. Dan cara terbaik yang bisa menjadi alternatifnya adalah
jalur diplomasi atau negosiasi. Oleh karena itu, karyawan perlu memiliki
kemampuan negosiasi, sehingga ketika proses penyelesaian masalah itu
berlangsung; bukan otot dan emosi yang bermain, melainkan kaidah-kaidah
negosiasi profesional. Dan orang-orang yang faham kaidah negosiasi tidak
semata-mata memperjuangkan keputusan yang menguntungkan pihak yang diwakilinya belaka,
melainkan kepentingan bersama.
Tapi, mengapa sejauh ini
banyak sekali masalah yang menimbulkan demo dan penyelesaian di meja hijau?
Mungkin itu karena kita belum terampil untuk melakukan negosiasi. Jadi, sudah
saatnya kita memiliki keterampilan negosiasi itu. Karena, negosiasi tidak hanya
proses transaksi antara penjual dan pembeli; melainkan juga antara karyawan dan
perusahaan. Lebih dari itu, dalam situasi yang serba menantang seperti saat
ini; perusahaan dan karyawan perlu lebih kompak lagi. Dan mungkin, krisis ini
bisa menjadi memoentum yang baik bagi kita untuk sama-sama belajar membangun
hubungan karyawan dan perusahaan yang lebih harmonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar